Advertisemen

Banyak orang keliru menilai Marjikun. Kekeliruan itu sekarang harus
ditebus, bahkan oleh pihak sekolah sekalipun. Bel masuk istirahat
pertama berdentang. Tapi lihat, banyak murid masih menggerombol di
halaman.
Tetap bertahan menggerombol. Seperti biasa, Pak Bakri paling awal
mencium bau bahaya. Naluri guru galak itu sangat terlatih. Matanya
nyalang mencari Ipung. Tak ada huru-hara sekolah tanpa melibatkan anak
kerempeng itu.
Tapi ternyata Ipung malah terlihat muncul dari kelas dengan mimik
kosong. Anak-anak yang menggerombol di halaman menolak masuk, meski para
guru mulai turun tangan membujuk. Ada apa? Ipung mengernyit. Tiga kelas
unggulan baru saja masuk secara tertib.
Kalau beberapa anak mulai keluar lagi, itu karena desakan ingin tahu.
Jelas sudah, gerombolan itu kelas yang lain. Kelas biasa. Ah, katakata
”biasa” itu memang telah lama tak disukai Ipung.
Otaknya dengan cepat menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Pak Bakri
menggamit megafon di dinding kamar kerjanya. Tapi pengeras itu batal
menyalak begitu ia menatap spanduk putih telah digelar dengan gagah. Ia
tergagap. Jelas sudah, tengah ada demonstrasi di sekolahnya. Ia kurang
berminat membaca tulisan merah menyala di spanduk itu. Apa pun bunyinya,
jelas sudah, itu demonstrasi.
Pak Bakri amat gugup. Sejak Budi Luhur membuka program Kelas Unggulan,
guru galak ini memang berkonsentrasi penuh di dalamnya. Ia mulai asing
dengan muridmurid yang lain. Maklum, sukses dan tidaknya program baru
ini terbeban di pundaknya.
Pak Bakri serius. Ia kerja keras. Tapi ia baru sadar sekarang. Ternyata
murid-murid yang tak pernah diajarnya itu tetap muridnya juga. Telapak
tangan Pak Bakri mulai banjir keringat. ”Ada apa, Pak?” Ipung mendekat.
Pak Bakri menoleh. Menatap wajah muridnya yang polos. Anak ini ia
pastikan berdiri di luar keributan. Ia langsung melihat peluang
memanfaatkan Ipung untuk mengatasi kecemasannya. Ia telah lama yakin
pada kecerdasan anak didiknya ini. ”Kelas reguler bikin garagara,” jawab
Pak Bakri marah. Tepatnya sok marah. Kalau kemarahan itu asli, sudah
sejak tadi ia bergerak. Ipung menangkap gelagat. Guru itu sedang butuh
bantuan, tapi gengsi mengatakannya. Tak apa-apa, batin Ipung. ”Bukan,
Pak. Bukan cuma kelas reguler.” ”Jangan ngawur. Kelas kalian semuanya
tertib.” ”Pak Bakri tidak melihat Marjikun di bawah spanduk putih itu,”
Ipung menunjuk.
Pak Bakri menyipit. Ah, aku sudah tua sekarang. Bayangan Marjikun belum
juga tampak. Tapi bukan, bukan karena matanya minus. Marjikun tak
terlihat lebih karena otaknya yang gusar. Ketika ia mencoba mengatur
napas, bayangan anak itu mulai nongol. Wahai Marjikun, sosok manusia
yang selama ini selalu luput dari perhatian, apa maumu?
Ya, Pak Bakri memang tak pernah menghitung anak itu. Kalau toh harus
mengingatnya, itu karena wajah dan ulah Marjikun yang payah. ”Pelawak
itu mau ikut-ikutan?” sergah Pak Bakri panas. ”Bukan. Dia pemimpinnya!”
”Kamu jangan edan!” ”Mau taruhan? Kalau menang, izinkan saya membolos
dua hari untuk pulang kampung,” Ipung mencoba bercanda. Tapi guru itu
lupa membalasnya.
***
IPUNG memang
sedang berspekulasi. Walau ketika jadi bertaruh, ia akan menang atas
gurunya. Ya, Marjikun adalah penggerak massa ini. Sebuah guncangan yang
tak pernah diduga oleh siapa pun.
Massa itu jauh melampaui rekor yang dibuat Ipung saat membuat huru-hara
ke Kepatihan. Murid unggulan cuma tiga kelas. Sedang jumlah kelas biasa
tiga kali lipatnya. Kalau gerakan itu kompak, Marjikun tentu punya alat
untuk membubarkan sekolah sekalipun. Luar biasa!
Di bawah spanduk putih, Marjikun berdiri yakin. Tak siasia, batinnya
bangga. Sebuah hasil yang bukan tanpa keberanian dan kerja keras. Ia
butuh waktu sedikitnya dua bulan untuk menyiapkan buah niat yang
berangkat dari sebuah derita panjang.
Banyak orang salah paham, bahwa di balik wajah komedi Marjikun tersimpan
beban. Orang boleh jadi terkecoh pada nasib baiknya. Ia memang sanggup
ke sekolah di atas mobil dengan aneka aksesori. Ia juga cuma kalah
setingkat dari Gredo dalam hal mempercantik mobil.
Tetapi Marjikun tetaplah tokoh di tingkatannya. ”Tapi hanya itu,” batin
Marjikun setiap kali. Selebihnya, ia merasa menjadi manusia paling sial
di dunia. Ia menyimpan banyak rasa curiga pada hidupnya sendiri.
Kecurigaan itu berawal dari namanya: Marjikun. Wahai! Itulah kenapa ia
merasa, apa pun mobil yang dipakainya tak juga mendongkrak wibawa.
Di mana-mana fungsi kehadirannya sama, sebagai dagelan. Banyak gadis
naik mobilnya, tapi hanya demi mencari traktiran dan butuh tertawa.
Giliran Marjikun memburu mereka, kaburlah semuanya. Remuk. Marjikun tak
tahan untuk tidak melacak deritanya. Siapa pemberi mobil itu?
Ternyata bukan bapak-ibunya, meski merekalah yang selama ini merawatnya.
Ya, mereka tak lebih dari paman dan bibinya. ”Biar bayi ini kubawa
saja. Fatonah rindu anak,” kata Hasan, pamannya yang gagal punya
keturunan itu.
Emak menangis walau tetap melepas Marjikun kecil. Tak terlalu keras
memang pertahanan Emak. Tujuh kali melahirkan dalam kemiskinan adalah
cobaan yang melelahkan. Tak ada salahnya melepas Marjikun meski Emak
sedih. ”Bawalah Marjikun asal ia tetap bernama Marjikun,” pesan Emak
pada adiknya. ”Biar kamu tetap merasa sebagai anak Emak, Nak,” sedu Emak
sambil mencium bayinya. Hasan mengangguk saja, meski ia ragu-ragu pada
nama itu. cerita http://berita.suaramerdeka.com/
Add Comments