Advertisemen
Pada dasarnya manusia memiliki hasrat ingin diakui keberadaannya
(eksistensinya) sebagai wadah untuk determinasi. Jika kita melihat
sejarah dari zaman yunani kuno sampai zaman modern manusia ingin diakui
keberadaannya dengan menghasilkan karya dan penemuan – penemuan.
Sekarang, zaman Posmo (Post-Modern) sangatlah ironis,
sebaliknya, manusia ingin diakui keberadaanya bukan dengan menghasilkan
karya seperti orang terdahulu tapi dengan penggunaan sosmed yang
cenderung konsumtif, hedonis, narsis, dan over-personal. Kemudian mereka
menyebut fenomena ini "kekinian". Inilah yang dimaksud dengan krisis
eksistensi, dimana manusia mulai melumrahkan hal – hal yang mencoreng
nilai dan norma dengan mengumbar ide-ide yang cenderung hedonis
menggunakan sosmed, salah satu contohnya dengan update status yang
over-personal dan merusak citra pribadi hanya karena ingin diakui
keberadaannya oleh umum. Ya, krisis eksistensi.
"Kekinian" sebagai kosakata yang sudah lumrah digunakan untuk suatu hal
yang up to date pada masa kini. Masyarakat yang "kekinian" pastinya
sudah terikat dengan sosial media (sosmed) seperti Facebook, Twitter, BBM, Line, Whatsapp
dan sebagainya. Terutama sebagian besar siswa SMP-SMA bahkan siswa SD
pun istilahnya sudah hatam atau menguasai penggunaan sosmed secara
radikal, bahkan melebihi guru-gurunya di sekolah. Permasalahannya adalah
penggunaan sosmed yang radikal dan berlebihan mengakibatkan mereka
menjadi pribadi yang konsumtif dan hedonis. Jika sudah seperti ini maka
mereka ada dalam tahap addicted (kecanduan), kecanduan sosmed akan
menguras waktu tenaga dan pikiran siswa, sehingga saat belajar di
sekolah mungkin hanya tinggal residu saja.
Ini menjadi salah satu PR tambahan guru di sekolah untuk meredakan
krisis eksistensi. Yaitu dengan mengarahkan muridnya untuk menggunakan
sosmed sebagai wadah untuk berkarya, bukan untuk mengeluh, ria, hedon
atau hal-hal over personal lainnya. contohnya seperti update status yang
bermanfaat seperti posting quotations, hadits, wacana, dan lain
sebagainya. contoh lainnya seperti menggunakan sosmed Instagram untuk upload karya-karya seni fotografi, atau mini-clips. Menggunakan smatphone untuk aplikasi- aplikasi yang positif seperti belajar bahasa inggris, e-book, dan lain sebagainya. Karena pada hakikatnya para scientists
bergelut untuk kemajuan teknologi adalah untuk "mempermudah" bukan
untuk "memperbodoh". Tentunya guru sebisa mungkin harus lebih tahu atau
setidaknya mengenal fungsi-fungsi sosmed yang ragam ini sebelum
mengarahkan muridnya. Jika krisis eksistensi ini dibiarkan nantinya akan
bermuara pada kebodohan bangsa yang massive.
Add Comments